Wednesday, October 3, 2012

Still can't make yourself stop eating fried food? Think again!



May 9, '12 5:25 AM
for everyone
Siang tadi ngobrol dengan seorang teman yang ingin merubah pola makannya dan keluarganya. Tapi, belum juga langkahnya dimulai, temanku yang satu ini sudah patah semangat duluan mendengar rincian makanan yang harus dikurangi atau dihindari. Patah semangat karena dia harus menghindari makanan-makanan yang digoreng, yaitu makanan kesukaannya dan keluarga, terutama anak-anaknya.

Ada apa sih dengan makanan yang digoreng? Kenapa banyak orang yang ketagihan dengan jenis makanan yang satu ini? Mulai dari tahu dan tempe goreng pinggir jalan, sampai ayam dan kentang goreng di restoran cepat saji dari luar negeri, sampai ayam dan bebek goreng gaya tradisional. Dan kenapa makanan yang digoreng disebut-sebut tidak sehat?

Sekarang ini makanan yang digoreng ada dimana-mana.

Di dalam buku “Eat This Not That” disebutkan bahwa makanan modern sekarang ini kebanyakan diolah dengan cara digoreng karena (1) cepat dan mudah mengolahnya, (2) makanan menjadi tahan lama, dan (3) murah biayanya. Sangat tepat untuk gaya hidup modern yang serba mau praktis, cepat dan banyak.

Makanan yang dijual di restoran, model cepat saji maupun tidak, kebanyakan digoreng. Makanan yang dijual dengan gerobak dan warung di pinggir jalan pun kebanyakan digoreng. Juga makanan di kantin sekolah, kantin kantor, pesawat terbang dan banyak lagi. Rupa dan rasanya sangat bervariasi. Jenis makanan ini sangat mudah didapat dan harganya juga banyak yang terjangkau. Gaya hidup modern yang akrab dengan makanan beli jadi dan makan di luar akhirnya membuat banyak orang yang menyukai, bahkan ketagihan, makanan yang digoreng.

Masakan rumah pun sekarang banyak beralih ke makanan yang digoreng akibat dari semakin berlimpahnya bahan makanan proses hasil karya industri makanan. Sebut saja sosis, kentang goreng beku, chicken nudget beku, donat beku, kornet dan banyak lagi. Makanan-makanan proses ini kini menjadi komoditas harian kebanyakan rumah tangga karena mudah didapat, harganya terjangkau, jenisnya semakin bervariasi, gurih rasanya sehingga mudah diterima dan sangat disukai (karena memang banyak menggunakan MSG dan perasa buatan) dan mudah serta cepat mengolahnya (tinggal digoreng dengan minyak panas).

Makanan tradisional bangsa kita pun juga tidak lepas dari proses goreng. Lauk-pauk yang menemani nasi timbel, nasi uduk, nasi bogana, nasi bakar, nasi goreng dan banyak lagi – kebanyakan digoreng. Sayang, karena sebenarnya lauk-pauk ini terbuat dari protein yang kalau saja diolah dan dimasak dengan benar bisa menjadi makanan sehat yang menguntungkan kesehatan kita. Lalu, jangan lupa, makanan kecil tradisional yang juga dijual dimana-mana, antara lain: keripik, tahu goreng, tempe goreng, pisang goreng, martabak asin, bakso-tahu-goreng, cakue goreng, bakwan goreng, risoles dan lain-lain. Dan tentu saja, melengkapi katalog makanan goreng manusia modern, makanan kecil kemasan yang digoreng juga semakin bertambah banyak jenis, rasa dan ukurannya.

Dan seperti belum cukup, banyak tempat makan yang membuat menu makanan goreng baru yang tidak lazim. Pernah makan pizza goreng? Atau es krim goreng? Atau cokelat bar yang digoreng? Menurutku, menu-menu ini agak keterlaluan. Dan memakannya sama saja seperti jatuh sambil tertimpa tangga.

Berlimpahnya jenis dan jumlah makanan yang digoreng di dalam habitat kita akhirnya memang membuat jumlah dan frekuensi konsumsi makanan goreng semakin membesar. Dalam kehidupan modern sekarang ini, makanan yang digoreng dikonsumsi oleh semua kalangan, dari mulai anak kecil sampai orang dewasa. Makanan ini dikonsumsi setiap saat. Makan pagi, lauk makan siang, makanan selingan dan seterusnya. Rasa makanan yang digoreng memang kebanyakan sangat gurih, apalagi makanan yang digoreng dengan margarin ataupun butter. Lalu, makanan yang digoreng juga memiliki tekstur renyah yang menimbulkan sensasi menyenangkan pada lidah kita. Doyan makan potato chips,kentang goreng atau keripik singkong pedas? Memang rasa gurih dan tekstur makanan yang digoreng tidak hanya membuat orang suka, tapi juga membuat ketagihan. Faktor yang sangat menguntungkan bagi industri makanan yang ingin menjual makanan ciptaan mereka sebanyak-banyaknya untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.

Kami sekeluarga dulu juga penggemar berbagai makanan yang digoreng, apalagi anak-anak. Mulai dari kerupuk, ayam goreng tepung cepat saji merek kolonel tua yang kondang sekali itu, bebek goreng (apalagi dimakan dengan nasi panas dan sambal), kentang goreng, gorengan (tahu, tempe, pisang dan bakwan terutama), martabak asin, bakso-tahu-goreng alias batagor dan masih banyak lagi. Dan kami tidak pernah harus khawatir, persediaan makanan yang digoreng di kota tercinta ini tidak pernah kering. Dan selalu pula muncul jenis makanan goreng baru yang patut dicoba. Bersama dengan jutaan orang lainnya, kebiasaan makan makanan yang digoreng ini kami jalankan tanpa banyak pikir. Menjadi kebiasaan yang  kami jalankan setiap hari dan menahun serta kami ajarkan pula kepada anak-anak kami.

Padahal, kebiasaan makan makanan yang digoreng adalah kebiasaan makan yang tidak sehat.

Kenapa?

Alasan pertama: mengkonsumsi makanan yang digoreng artinya memasukkan trans fat ke dalam tubuh kita.

Trans Fat?

Menurut berbagai informasi yang aku baca, trans fat banyak terkandung dalam margarin, butter dan minyak sayur yang sudah melewati proses hydrogenated. Oleh industri makanan, trans fat digunakan dalam makanan proses untuk membuat makanan proses dapat bertahan dan disimpan dalam waktu lama. Sedangkan trans fat dalam bentuk natural bisa ditemui dalam makanan yang berasal dari binatang, yaitu daging dan dairy product.

Dalam buku Eating Clean dijelaskan bahwa trans fat berkaitan erat dengan berbagai penyakit berbahaya. Disebutkan bahwa trans fat dapat menyumbat arteri kita dan karena itu dapat meningkatkan resiko penyakit jantung. Disebutkan juga bahwatrans fat juga dapat meningkatkan kadar kolesterol jahat (LDL) dalam tubuh kita dan menurunkan kadar kolesterol baik (HDL).

Artinya, hobi makan makanan yang digoreng dapat meningkatkan resiko kita terkena penyakit-penyakit ini. Karena makanan goreng umumnya memang digoreng dengan menggunakan margarin, butter dan hydrogenated vegetable oils. Dan yang lebih parah lagi, banyak makanan yang digoreng dengan minyak yang sudah dipakai berulang kali (minyak jelantah).

Alasan kedua mengapa makan makanan yang digoreng menjadi tidak sehat adalah karena teknik menggoreng makanan dengan minyak ternyata menambah jumlah kalori pada makanan. Jadi, makanan yang digoreng memiliki banyak kalori dan mengkonsumsi makanan digoreng dalam jumlah banyak dan terus-menerus dapat meningkatkan resiko obesitas yang selanjutnya dapat memicu diabetes, hipertensi dan berbagai penyakit degeneratif lainnya.

Alasan ketiga: penyakit kanker. Ternyata, menggoreng makanan, terutama jenis karbohidrat seperti kentang, dapat meningkatkan zat yang dapat meningkatkan resiko penyakit kanker dalam makanan tersebut. Selain penyakit kanker, zat tersebut dapat pula meningkatkan resiko kerusakan pada sistem syaraf kita.

Nah!

Setelah aku banyak membaca mengenai trans fat dan resiko penyakit yang dapat dipicu oleh makanan yang digorengtanpa pikir dua kali, aku langsung putuskan untuk mengurangi konsumsi makanan yang digoreng dalam keluargaku. Untukku, semua resiko penyakit yang bisa timbul dari kebiasaan makan makanan digoreng bukanlah hal yang sepele. Keluargaku berhenti total menggunakan margarin, butterdan hydrogenated vegetable oils sejak 8 bulan lalu. Aku tidak pernah lagi menggoreng makanan. Makanan lebih banyak aku panggang, kukus, rebus, tumis atau dimakan mentah (sayur dan buah). Kalau menumis makanan pun aku hanya pakai sedikit minyak dan itupun menggunakan minyak yang benar (aku pilih oliveoil). Snack di rumah juga aku ganti dengan snack kukus, rebus atau panggang. Anak-anak belajar menyukai ubi kukus, pisang bakar dan rebus, kacang rebus dan banyak lagi makanan-makanan sederhana yang jauh lebih sehat daripada makanan yang digoreng. Kalau makan di luar, kami pilih untuk makan makanan yang dipanggang polos (tanpa margarin maupun butter), kukus, rebus maupun mentah. Intinya, di restoran kami biasakan pilih makanan yang menggunakan minyak paling sedikit.

Selain berhenti makan makanan yang digoreng, aku juga sekaligus mengurangi konsumsi trans fat natural dalam keluarga kami. Jadi, sejak 8 bulan yang lalu, konsumsi daging dan dairy product keluarga aku kurangi. Termasuk susu dan keju yang dulu sangat disukai anak-anak. Dan tentu saja, keluargaku berhenti mengkonsumsi segala bentuk makanan proses dan makanan cepat saji, yang walaupun tidak digoreng sekalipun, tetap dibuat dengan menggunakan bahan yang mengandung trans fat. Termasuk roti, kue, cookies, crackers dan makanan-makanan kecil lainnya.

Kebiasaan baru ini sudah kami jalankan selama 8 bulan. Percaya deh, kalau dijalankan, kita bisa terlepas dari rasa ketagihan makanan yang digoreng. Rasa kangen terhadap makanan-makanan ini tidak pernah melanda kami. Justru kalau sekarang kami memakan makanan yang digoreng atau makanan yang tinggi kandungan trans fat nya, lidah dan perut akan langsung “berontak”.

Bagaimana caranya berhenti makan makanan yang digoreng? Putuskan dan lakukan, itu cara yang kami tempuh. Terbukti cukup manjur. Hidup kami berjalan terus tanpa makanan yang digoreng. Kami tidak menjadi kelaparan karena ada banyak makanan sehat pengganti yang bisa dimakan, yang sebenarnya rasanya tidak kalah enak dengan makanan yang digoreng kalau lidah kita sudah dapat mengenali dan menghargai rasa makanan natural. Kami tidak juga menjadi sakit karena berhenti makan makanan yang digoreng. Malah kebalikannya, kami merasa lebih sehat. Kami juga tidak menjadi lebih susah karena berhenti makan makanan yang digoreng karena sebenarnya makanan sehat itu tidak perlu mahal dan tidak perlu juga repot mengolahnya.

Untukku, resiko peyakit yang ada tidak sepadan dengan kesenangan dan rasa kenyang sesaat yang kita rasakan setelah memakan makanan yang digoreng. Aku sih lebih rela berhenti makan makanan yang digoreng selama bisa mencegah resiko terkena penyakit berbahaya. Untukku, hidup itu lebih daripada sekedar menyenangkan diri dengan makan makanan yang digoreng. Masih banyak urusan dan kesenangan yang lain yang lebih patut diperjuangkan dan dipertahankan dalam hidup ketimbang makanan yang digoreng.

But then again, it’s a choice of life!

Belajar dari pengalaman kami sekeluarga, dan melihat orang-orang disekelilingku, aku sadar penuh bahwa berhenti makan makanan tidak sehat, termasuk makanan yang digoreng, adalah pilihan hidup. Sama dengan merokok ataupun minum alkohol.  Berhenti atau terus mengkonsumsi rokok maupun alkohol adalah pilihan hidup. Dan pilihan hidup tidak dapat dipaksakan oleh orang lain. Namun, pilihan untuk terus melakukan memiliki resiko yang harus ditanggung sendiri pula.

Kembali ke obrolanku dengan temanku….

Diakhir obrolan kami, temanku berkomentar, “Ah! Aku nggak bisa berhenti makan makanan goreng, apalagi gorengan, karena aku suka banget! Duh! Nanti pasti kangen banget sama gorengan. Biar deh, hidup-kan cuma sekali”.

Mendengar komentar penutupnya aku cuma tersenyum, tapi di dalam hati mengurut dada: sedih. Tapi aku tahu diri dan aku pilih diam. Aku cuma tidak habis pikir kenapa temanku ini, yang sekolahnya tinggi dan jabatan pekerjaannya juga tinggi, rela mengorbankan kesehatannya, dan nantinya kebahagiannya dan keluarganya, untuk makanan yang hanya memberi kesenangan sesaat? Kenapa dia rela membiarkan anak-anaknya ikut terperangkap dalam kebiasaan dan resiko yang sama?

Justru karena hidup itu hanya satu kali!

Apakah kita tidak mau hidup yang hanya sekali itu bisa kita jalani dan nikmati dengan sehat? Apakah kita tidak justru ingin menikmati umur panjang tanpa rasa sakit, nyeri dan tidak menderita serta tidak menyusahkan orang lain, terutama orang-orang yang kita sayangi? Apakah sepadan kesenangan sesaat itu dengan resiko yang mungkin timbul?

Memang tidak ada jaminan hidup sehat dan makan sehat akan membuat kita selalu sehat dan berumur panjang. Semuanya ditangan Tuhan. Tapi toh manusia harus berusaha? Untuk aku, kalau kita berusaha untuk sehat, kita punya 2 kemungkinan dalam hidup: sehat atau sakit (Tuhan menentukan, bukan?). Sedangkan kalau kita tidak berusaha untuk sehat, hanya ada 1 kemungkinan dalam hidup kita, yaitu sakit. Pilihannya tinggal sakit apa dan kapan. Apakah tidak lebih baik kita berusaha dan hidup dengan memiliki 2 kemungkinan? Dan kalaupun umur kita tidak sepanjang yang kita harapkan pun, dengan berusaha untuk sehat, paling tidak kita punya kesempatan untuk menjalankan umur yang tidak panjang itu dengan kesehatan yang baik, yang membuat kita bisa berfungsi dengan baik pula dan membuat kita bisa melakukan berbagai hal yang ingin dan harus kita lakukan. Isn’t it better??? 

No comments:

Post a Comment