Wednesday, October 3, 2012

School can create unhealthy eating habits for our children. Be aware & do something about it!



Apr 16, '12 4:04 AM
for everyone
Tadi pagi aku membaca sebuah artikel yang menyatakan bahwa salah satu cara untuk mencegah dan melawan obesitas pada anak-anak adalah dengan melarang masuknya makanan dan minuman kemasan serta fast food ke dalam area sekolah.

Setuju!

Sama dengan kita mencegah anak-anak kita merokok, maka rokok dilarang masuk dan dijual ke dalam area sekolah. Seharusnya, makanan dan minuman kemasan serta fast food mendapat perlakuan sama. Karena berdasarkan berbagai penelitian, tingkat kematian akibat penyakit yang ditimbulkan oleh pola makan tidak sehat justru lebih tinggi dibandingkan tingkat kematian yang disebabkan oleh rokok.

Tadi pagi aku berandai-andai …

Seandainya aku adalah seorang Kepala Sekolah, aku akan larang keberadaan semua makanan dan minuman kemasan dan fast food di sekolah, termasuk di area depan dan sekitar gerbang sekolah. Aku juga akan membuat peraturan melarang murid membawa bekal berupa makanan dan minuman kemasan serta fast food ke sekolah. Daripada mereka bawa cheeseburger sebuah restoran fast food, lebih baik mereka membawa nasi dengan tempe dan tumis buncis, misalnya. Oya, selain makanan dan minuman kemasan serta fast food, aku akan juga membatasi keberadaan makanan dari bahan tepung putih di area sekolahku.

Itu seandainya aku jadi Kepala Sekolah... 

Karena aku yakin, asupan makanan yang sehat akan meningkatkan kesehatan dan kemampuan anak. Baik daya pikir, emosi, perilaku maupun kemampuan fisik. Dan ilmu tentang kesehatan serta pola makan sehat adalah sama pentingnya untuk diajarkan kepada anak-anak dengan ilmu agama. Ilmu ini harus diajarkan sejak usia dini, baik di rumah dan di sekolah, oleh orang tua dan keluarga serta guru di sekolah. Pelajarannya pun harus dilengkapi dengan pelajaran tentang nutrisi, memilih bahan makanan natural yang sehat, mengolah dan memasak makanan dengan sehat dan mengatur porsi makan yang sehat. Semuanya akan mereka jadikan bekal dan cara hidup pada saat mereka dewasa nantinya. Jadi,  adalah penting sekali bagi para guru di sekolah untuk juga mempelajari dan memahami pola makan sehat yang sebenarnya, agar mereka tidak salah memberi informasi dan ilmu kepada murid-muridnya.

Membaca artikel tadi pagi membuat aku teringat kejadian beberapa minggu lalu. Kejadiannya berhubungan dengan guru dan pembelajaran pola makan sehat anak-anakku di sekolahnya.
Beberapa minggu lalu, guru kelas anakku yang paling kecil (TK B), membagikan teh manis kepada murid kelasnya sebagai selingan. Niat sang guru memang baik, tapi niat yang tidak didasari pengetahuan itu aku anggap merugikan orang lain, yaitu anak-anak muridnya sendiri. Karena tindakan tersebut secara tidak langsung mengajarkan anak-anak untuk menyukai minuman manis dan untuk meminumnya tanpa berpikir panjang.

Lalu, beberapa waktu kemudian, kelas anakku yang paling kecil melakukan kegiatan memasak bersama. Menu yang ditentukan oleh sang guru adalah macaroni and cheese. Pilihan makanan yang memang digandrungi anak-anak perkotaan sekarang dan, yang paling penting, gampang membuatnya. Semua bahan yang diperlukan disediakan oleh sang guru, antara lain terdiri dari:macaroni yang dibuat dari tepung putih (alias karbohidrat sederhana), keju processed merk terkenal di Indonesia yang sebenarnya sangat tidak sehat karena mengandung sodium tinggi, susu dan margarin merk terkenal yang tinggi kandungan saturated fat (lemak tidak sehat) nya. Dan hasil masakan mereka, tentu saja dimakan bersama di kelas. Dan semuanya terjadi tanpa dikomunikasikan terlebih dahulu kepada orang tua. Aku baru mengetahui kegiatan ini setelah diceritakan oleh anakku pada saat ia pulang sekolah.

Di saat yang bersamaan dengan kejadian-kejadian yang dialami oleh anakku yang paling kecil, anakku yang paling tua mendapat pelajaran tentang pencernaan dan makan sehat di kelasnya (5 SD). Suatu hari, beberapa minggu lalu, sepulang dari sekolah, anakku dengan polosnya bercerita kepadaku bahwa dalam pelajaran makan sehat hari itu, gurunya menjelaskan bahwa sereal adalah makanan yang sehat karena banyak gizinya. Sang guru juga menyebutkan bahwa susu kemasan adalah makanan sehat, termasuk susu cokelat dan strawberry, karena tinggi kandungan kalsiumnya. Anakku yang sudah kelas 5 SD jadi bertanya-tanya karena informasi yang ia dapatkan dari aku sangat berbeda. Untungnya, dia cukup kristis dan langsung mengklarifikasi informasi yang dia rasa tidak tepat itu dengan aku. Seperti kaset rusak, aku harus menjelaskan ulang kepada anakku kenapa sereal dan susu kemasan tidak sehat.

Dan rupanya, minggu pembelajaran pencernaan dan makan sehat ditutup, lagi-lagi, dengan kegiatan masak bersama di kelas. Sang guru kelas 5 menentukan menu sederhana, yaitu: baked garlic bread.Yang kalau saja dibuat dengan bahan-bahan natural yang sehat, memang bisa menjadi makanan sehat. Tapi, bahan-bahan yang dipilih oleh sang guru jauh dari sehat, yaitu: roti putih yang dibuat dari tepung putih (alias karbohidrat sederhana) dan margarin merk terkenal yang tinggi kandungan saturated fat (lemak tidak sehat) nya. Dan lagi-lagi aku baru mengetahui kegiatan ini setelah kegiatan selesai, lewat cerita anakku. Sebelumnya, tidak pernah ada informasi ataupun komunikasi dari sang guru kepada orang tua.
Kesal, marah, was was, sedih … semuanya campur aduk! Apalagi setelah bersusah payah merubah pola makan anak-anakku dan melawan obesitas selama berbulan-bulan.

Akhirnya surat protes pun aku layangkan ke sekolah. Diikuti dengan pertemuan langsung dengan guru kelas anak-anakku. Di dalam surat dan pertemuan tersebut, aku jelaskan secara rinci bahwa aku, sebagai orang tua, keberatan dengan informasi yang salah yang diajarkan kepada anakku serta kebiasaan yang tidak sehat yang diajarkan kepada anakku. Termasuk pula keberatanku atas pemberian makanan dari pihak sekolah tanpa sepengetahuan orang tua (bagaimana kalau ada anak yang alergi terhadap makanan tertentu? Bisa berbahaya, toh ... ) Di dalam pertemuan tersebut aku juga menjelaskan secara rinci tapi sederhana pola makan sehat yang kami sekeluarga jalani. Akhir dari pertemuan adalah kesepakatan antara aku dan para guru. Para ibu guru berjanji untuk lebih berhati-hati dalam memberi informasi seputar makan sehat. Dan khususnya untuk anak-anakku, yang pola makannya tidak sama dengan kebanyakan anak di sekolahnya, para guru yang baik hati ini bersedia mengerti dan bahkan mengawasi, mendukung serta membantu anak-anakku untuk tetap bisa menjalankan pola makan sehatnya di sekolah.

Disitu aku rasakan benar-benar: pilihan hidup dan makan sehat di kota besar seperti Jakarta memang akhirnya membuat diri kita berbeda dari orang-orang pada umumnya. Jangankan teman di kantor atau sekolah, seringkali kita menjadi sangat berbeda dengan keluarga dekat kita sendiri. Mau tidak mau kita menjadi “kaum minoritas”. Dan kenyataannya, tidak mudah untuk menjadi kaum minoritas di tengah masyarakat yg sudah terlanjur percaya mitos, terlanjur terbiasa dengan kebiasaan yang salah dan sudah termakan iklan dan trend. Aku tidak salahkan guru anak-anakku, karena memang pola makan sehat itu tidak semudah yang disebut orang selama ini dan sangat banyak informasi salah yang terlanjur dipercaya dan diterima kebanyakan orang. Wajar, para guru ini berpikir, makanan yang mereka berikan kepada muridnya adalah sehat dan informasi yang mereka berikan adalah benar karena sama dengan informasi yang beredar dimasyarakat umum. 

Jadi, mau tidak mau, sebagai kaum minoritas, aku hanya bisa menjelaskan bahwa kami sedikit berbeda dan hanya mengharapkan pengertian orang lain, walaupun sekecil apapun. Terutama untuk anak-anak kami. Kesempatan menjelaskan kepada orang lain adalah baik, namun sayangnya langka terjadi. Seringkali orang hanya mengecam, "ribet makannya". Apa boleh buat ... Tapi aku putuskan, apapun yang terjadi dan apapun yang harus kami hadapi, kami akan tetap menjalankan makan sehat kami, dimanapun kami berada. Dan yang jelas, aku tidak mau anak-anakku hidup dengan dualisme. Dimana mereka makan sehat di rumah, tapi makan tidak sehat di sekolah ataupun dilingkungan sosial mereka. Untukku lebih baik menjadi “kaum minoritas” yang dianggap "aneh" oleh kebanyakan orang daripada sakit parah suatu hari nanti. 

Aku hanya bisa coba untuk terus-menerus memberi semangat dan pengertian kepada anak-anakku. Kepada anak-anakku, bekal makanan dan minuman yang aku berikan kepada mereka setiap hari selalu aku sertakan dengan bekal informasi. Misalnya, kenapa jam 9 pagi mereka harus makan buah, kenapa mereka harus makan sayur, kenapa porsi nasi mereka tidak 1 piring besar, kenapa mereka makan nasi merah bukan nasi putih, kenapa mereka minum air putih, dst. Kadang-kadang tidak tega, apalagi bila mendengar cerita mereka "dikritik" dan bahkan ada hari-harinya "dijauhi" oleh teman-temannya yang sebenarnya sama-sama tidak tahu banyak seperti mereka.

Tapi kami jalan terus.

Kepada guru-guru kelas anak-anakku, aku berikan daftar tertulis yang isinya adalah nama dan jenis makanan dan minuman yang tidak boleh dikonsumsi oleh anak-anakku selama mereka berada di sekolah. Dan aku berikan pula aturan makan dasar yang harus diterapkan anak-anakku selama berada di sekolah, yang secara otomatis harus dimonitor oleh sang guru yang mendampingi anak-anak kita selama mereka di sekolah, antara lain:

-        anakku tidak boleh mengkonsumsi makanan atau minuman dari guru atau teman dan wajib menghabiskan bekal yang aku bawakan setiap hari dari rumah (yes! Aku hanya memberi anak-anakku bekal home cooked meal yang aku masak sendiri)

 -        anakku boleh mengikuti pelajaran memasak di kelas tapi hasil masakannya tidak boleh dimakan di kelas. Sekarang, guru kelas anak-anakku selalu membungkus hasil memasak di kelas dan mengingatkan anak-anakku untuk bertanya lebih dahulu ke mama apakah ia boleh memakan hasil masakannya atau tidak. Biasanya, setelah aku bertanya kepada anakku bahan yang digunakan dan setelah aku jelasnya kenapa bahan-bahan tersebut tidak sehat, aku tetap mengizinkan anak-anakku untuk mencicipi masakannya sedikit (2-3 suap). Untuk menggantikan masakan yang tidak bisa mereka makan, biasanya aku ajak mereka untuk memasak makanan yang sama di rumah tapi dengan bahan makanan yang sehat.

Urusan bungkus dan membawa pulang makanan ini berlaku juga bila ada teman mereka yang berulang tahun di kelas dan membagikan kue atau makanan atau goody bag. Sekarang anak-anakku sudah terbiasa untuk memperlihatkan dulu ke aku kue atau goody bag yang mereka dan mengklarifikasi dengan aku mana yang boleh dicicipi sedikit dan mana yang tidak. Kenapa aku sebut “klarifikasi”? Karena sekarang anak-anakku sudah bisa menilai sendiri makanan mana yang sehat dan mana yang tidak, mana yang bisa mereka coba sedikit dan mana yang tidak perlu mereka cicipi sama sekali karena, meminjam istilah anakku yang tertua, it’s not worthed.

Sedikit senewen awalnya, tapi lama-kelamaan membuahkan hasil. Guru anak-anakku kini menjadi perpanjangan tanganku dalam mengawasi pola makan anak-anakku di kelas. Mereka juga membantuku menjelaskan kepada teman-teman anak-anakku yang bertanya atau mengkritik atau memberi input yang justru salah kepada anakku. Dan aku di rumah sekarang menjadi lebih tenang karena tahu di sekolah anak-anakku mendapat ilmu dan kebiasaan yang sama dengan yang mereka dapatkan dan jalankan di rumah. Dan mendapatkan bantuan pada saat mereka membutuhkan untuk menghadapi lingkungan sosial yang punya kebiasaan berbeda dengan mereka.

Dear parents, jangan biarkan anak-anak kita mendapat ilmu yang salah dan membangun kebiasaan makan yang tidak sehat di sekolah. Bahaya ini semakin besar dari tahun ke tahun. Apalagi sekarang banyak acara sekolah yang disponsori oleh perusahaan makanan dan minuman kemasan, bahkanfast food. Sample makanan dan minuman seringkali dibagikan kepada anak-anak kita. Vending machine juga sudah mulai merambah sekolah-sekolah. 

Jangan mengalah! Be aware & do someting to help and protect our children!

Dibanyak negara maju, keberadaan makanan dan minuman kemasan serta fast food dilingkungan sekolah mulai mendapat banyak tentangan keras dari para pengurus sekolah dan orang tua. Bahaya addictive gula, pemanis buatan, karbohidrat sederhana, trans fat sudah sedemikian meraja lela. Sampai-sampai, tidak hanya meneropong keberadaan makanan dan minuman kemasan dan fast food di sekolah, beberapa negara maju bahkan sedang mempertimbangkan untuk mengeluarkan larangan menjual minuman manis kepada anak-anak yang berusia dibawah 17 tahun, karena bahayanya sama dengan bahaya merokok (ada beberapa ahli yang bahkan menyebutkan, “Even worse!”). 

Apakah kita memilih untuk diam saja dan membiarkan anak-anak kita terperangkap dalam perangkap makanan artificial yang membahayakan kesehatan mereka? Mari, kita biasakan anak-anak kita makan sehat dimanapun mereka berada. Terutama di rumah dan di sekolah, 2 tempat yang banyak menghabiskan keseharian mereka.

No comments:

Post a Comment